Showing posts with label Sepakbola. Show all posts
Showing posts with label Sepakbola. Show all posts

Tuesday, March 3, 2009

Ketika Motivasi Ekstrinsik menjadi Efektif


Seperti banyak diketahui bahwa motivasi ada yang berasal dari dalam diri, yang disebut dengan motivasi intrinsik dan ada yang berasal dari luar diri, yang biasa disebut dengan motivasi ekstrinsik. dalam tulisan sebelumnya sudah dibahas tentang motivasi intrinsik dan cara-cara menumbuhkannya di dalam diri atlet.
Sudah jamak jika para pelatih, penggurus atau manajer memberi iming-iming berupa bonus bagi atletnya yang berprestasi. Seperti para atlet olimpiade Indonesia kemarin yang mendapat bonus 1 Milyar rupiah untuk peraih medali emas. Atau banyak tim sepakbola Indonesia yang menjanjikan bonus jika memenangi laga, khususnya ketika bertandang ke kandang lawan.

Bonus, hadiah atau semacamnya adalah bentuk-bentuk motivasi yang berasal dari luar diri individu. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah bonus-bonus semacam ini efektif untuk mendongkrak motivasi para atlet? Bagaimana jika ternyata bonus yang diberikan kurang besar, apakah bonus masih akan efektif? Bagaimana mengubah motivasi ekstrinsik agar berjalan efektif dan mempunyai kekuatan untuk menggerakkan perilaku seseorang?

Pada tahun 1985, Deci and Ryan menerbitkan buku yang berjudul “Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior”. Dalam bukunya, Deci dan Ryan memaparkan beberapa tipe motivasi eksternal dari yang sifatnya paling lemah ke sesuatu yang paling kuat. Berikut ini penjelasan tentang 4 tipe motivasi ekstrinsik:

1.External regulation.
Regulasi eksternal mempunyai makna bahwa sebuah perilaku muncul dalam rangka mendapatkan benda-benda/sesuatu yang bersifat eksternal (medali, trofi) serta dalam rangka menghindari tekanan (tekanan sosial). Bukti bahwa seorang atlet sedang berada dalam fase regulasi eksternal adalah ketika mereka mengatakan, “Saya akan pergi berlatih hari ini karena saya tidak ingin dicadangkan oleh pelatih pada pertandingan mendatang!”
Dalam ucapan ini tampak bahwa pemain tersebut datang ke latihan hanya karena dia takut tidak bermain di tim inti. Jadi motivasinya bukan karena memang dia membutuhkan latihan. Bagaimana seandainya sang pelatih sudah cinta mati kepadanya? Tentu saja dia akan sering mangkir latihan, karena toh nggak latihan saja dia tetap akan main di tim utama.

2.Introjected regulation.
Dalam tipe kedua dari motivasi ekstrinsik ini pemain mulai menginternalisasi alasan-alasan dari perilakunya. Internalisasi alasan ini menggantikan kontrol dari luar seperti dalam external regulation. Dia menggantikan kontrol eksternal dengan susaatu yang berasal dari dalam diri. Masih dalam konteks latihan, pemain yang mempunyai introjected regulatioan ini akan mengatakan, “Saya berlatih karena saya akan merasa bersalah seandainya tidak datang.”
Dengan kata lain, meskipun sumbernya masih berasal dari luar, tapi pemain sudah mulai menggunakan unsur yang berasal dari dalam dirinya, yakni rasa bersalah. Tapi sekali lagi, bukan di dasarkan atas kebutuhan akan latihan yang berasal dari dalam dirinya.

3.Regulated through identification
Setelah melewati proses internalisasi, seorang pemain mempunyai pilihan atas perilaku-perilaku yang akan dia lakukan. Perilaku-perilaku tersebut akan dibandingkan dan dinilai mana yang layak untuk dilakukan. dalam fase ini, motivasi eksrinsik telah bergerak ke arah regulated through identification, yakni munculnya perilaku-perilaku yang dinilai dan menjadi pilihan untuk dilakukan. Pemain sudah bisa mengidentifikasi perilaku yang harus diambil.
Dalam ucapan, pemain yang sudah mempunyai motivasi ekstrinsik tipe ini akan mengatakan, “ Saya memilih untuk berlatih karena berlatih akan membantuku tampil lebih baik untuk pertandingan mendatang.” Contoh itu menggambarkan bahwa pemain tersebut sudah mulai memiliki kesadaran akan pilihan didasarkan atas nilai atau sesuatu yang lebih baik.

4.Integrated regulation
Tipe keempat yang juga tipe paling tinggi berdasarkan teori self determinism adalah integrated regulation. Dalam integrated regulation ini, pemain sudah memilih sebuah perilaku untuk dikerjakan yang bergerak dari motivasi eksternal ke tindakan yang terpilih. Dalam kasus ini, pilihan yang diambil oleh seseorang dibuat berdasarkan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan berbagai macam aspek dari diri seseorang. Seorang atlet sudah memilih untuk tetap tinggal di rumah dibanding jalan-jalan bersama teman-teman, sehingga atlet tersebut akan siap menghadapi pertandingan esok hari.
Ada pilihan-pilihan aktivitas lain yang muncul bersamaan dengan aktivitas yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemain. Dalam tahap ini, berarti memang motivasi eksternal mencapai titik efektifnya karena selain menjadi pengatur perilaku atlet, motivasi eksternal ini juga sudah memberi kesadaran bagi seorang atlet akan perilaku yang seharusnya dialakukan.

Guntur Utomo

Tuesday, December 30, 2008

Vietnam, Mental Luar Biasa!!!

Betapa bahagianya rakyat Vietnam sekarang ini. Bagaimana tidak, menjadi juara di Piala AFF adalah sebuah prestasi yang luar biasa di tengah dominasi Thailand dan Singapura beberapa tahun terakhir. Pastilah rakyat Vietnam menjadi orang yang paling lega paling tidak untuk menghilangkan himpitan masalah akibat krisis global yang melanda dunia saat ini.

Menarik jika menyimak aksi Vietnam membantai raksasa sepakbola Asia Tenggara, Thailand, dalam partai final Suzuki AFF CUP 2008. Dalam dua kali pertandingan, Vietnam berhasil membuat Thailand dengan segudang pemain mudanya tidak berdaya. Di atas kertas, sebenarnya Thailand lebih diunggulkan dengan hanya kemasukan satu gol selama babak penyisihan dan semifinal, itupun hanya sebuah gol bunuh diri dari pemain Thailand sewaktu bertanding melawan Indonesia di babak semifinal leg kedua di Bangkok. Itu adalah bukti nyata bagaimana superioritas permainanan negeri Gajah Putih itu di pentas Piala AFF 2008.

Berbekal prestasi tersebut, Thailand dengan sangat optimis menatap final dan berharap membawa pulang trofi Piala AFF untuk keempat kalinya ke Bangkok. Apalagi tim yang akan dilawan di partai final "hanya" Vietnam yang pada babak penyisihan grup berhasil mereka kalahkan dengan skor 2-0. Dari segala sudut pandang, Thailand jelas lebih unggul dari Vietnam. Namun, ternyata Vietnam mengeluarkan senjat pamungkas yang gagal diantisipasi oleh para pemain Thailand, Mental Bertarung yang luar biasa.

Vietnam berhasil membuktikan bahwa mental bertarung yang luar biasa tinggi bisa menutupi kekurangan mereka dalam hal teknis. Secara kasat mata memang jelas terlihat jika para pemain Thailand mempunyai teknik dan skill yang jauh lebih bagus dibandingkan dengan para pemain Vietnam. Tapi tertanya keunggulan tersebut tidak berarti apa-apa karena Vietnam mempunyai energi tambahan dari mental bertanding mereka yang "gila-gilaan".

Sepanjang pertandingan para pemain Vietnam menunjukkan sikap positif untuk selalu menutup ruang gerak para pemain Thailand. Kemanapun bola lari selalu mereka kejar. Dari sudut pandang psikologi, para pemain Vietnam benar-benar termotivasi untuk memenangkan pertandingan. Motivasi berprestasi mereka benar-benar luar biasa, dan motivasi tersebut merupakan motivasi intrinsik yang berasal dari dalam diri. Seolah-olah para pemain merasa bahwa ini adalah pertandingan terakhir, bahkan hidup terakhir mereka, sehingga mereka mengeluarkan segala daya upaya untuk menutupnya dengan sempurna.

Berbeda dengan motivasi ekstrinsik, seperti bonus, hadiah atau pujian, motivasi intrinsik lebih bersifat permanen. Motivasi ekstrinsik akan hilang seiring dengan hilangnya atau kurang bernilainya sebuah bonus atau hadiah. Ketika orang sudah sangat kaya, maka nilai uang sudah tidak begitu lagi berfungsi. Atau ketika orang sudah mempunyai banyak rumah, maka iming-iming rumah sudah tidak lagi memberi dorongan yang berarti. Sedang motivasi intrinsik, seperti pembuktian diri, atau mengharumkan nama bangsa, tidak akan dengan begitu mudah luntur.

Akibat dorongan yang begitu tinggi tersebut, rasa pegal dan letih dapat begitu saja mereka abaikan. Mereka terus saja berlari dan berlari mencari bola. Ketika serangan balik tiba, sudah ada 3 atau 4 pemain Vietnam yang siap di area berbahaya Thailand. Posisi dari bertahan ke menyerang inilah yang membutuhkan energi yang sangat luar biasa bagi seorang pemain. Motivasi mereka benar-benar dalam posisi yang sangat tinggi. Mereka seolah berpikir bahwa tidak ada lagi satupun hal yang bisa menghentikan mereka.

Bukti lain adalah pada saat mereka sedang tertinggal, tidak tampak sedikitpun kepanikan dan perasaan menyerah tergambar dari wajah mereka. Semua masih mungkin, semua masih bisa. Thailand yang mulai mengurung pertahanan Vietnam di awal babak kedua di pertandingan kedua pun tidak menjadikan mereka panik dan kehilangan konsentrasi. Ya, konsentrasi mereka juga sangat prima. Tidak ada satupun pemain Thailand yang bisa dengan leluasa membawa bola terutama ketika mulai memasuki separuh lapangan Vietnam. Para pemain Vietnam menunjukkan bahwa energi tambahan yang mereka miliki berhasil mereka maksimalkan untuk memperkuat konsentrasi mereka.

Selain itu, yang patut dipuji dari para pemain Vietnam adalah keyakinan diri mereka yang sangat bagus. Di tengah sorotan media pada prestasi dan kualitas para pemain Thailand, para pemain Vietnam terlihat sama sekali tidak terpengaruh. Mereka tampil dengan sangat yakin dan percaya diri. Mereka bermain tanpa rasa takut dan sangat yakin bakal mendapat yang terbaik.

Faktor mental lain yang memberi kemenangan Vietnam adalah kemampuan mereka mengelola tingkat stress dan kecemasan mereka dengan baik. Di saat tekanan yang begitu besar, bisa dipastikan tingkat stress mereka sangat tinggi. Bermain di hadapan puluhan ribu suporter mereka, berharap menjadi pengganggu kemapanan Thailand di Asia Tenggara, menjadi Juara untuk pertama kali merupakan faktor-faktor yang cukup besar menekan mereka. Tapi, ternyata mereka mampu mengelola itu semua menjadi sebuah dorongan yang maha kuat untuk tampil habis-habisan di lapangan. Tidak ada perasaan cengeng atau manja di para pemain. Semuanya bertarung seolah tidak ada hari esok.

Seperti kita tahu, tekanan bisa menjadi sebuah faktor yang sangat positif terhadap penampilan seorang atlet. Tekanan atau stress memang hanya dimaknai negatif oleh banyak orang selama ini. Tapi sesungguhnya stress bisa berarti sangat positif ketika bisa dikelola dengan baik, karena ketika orang merasa tertekan, energi psikis yang mereka miliki justru sangat besar. Ketika energi psikis ini bisa dimanfaatkan, maka yang muncul adalah stress yang positif yang merupakan bahan bakar utama munculnya dorongan dan motivasi yang bersifat intrinsik.
Yang ada selama ini adalah para pemain gagal mengelola stress ini, sehingga energi yang muncul bersamaan dengan stress ini justru merusak kondisi mental seseorang. Terus terang, menurut pengamatan penulis, para pemain Indonesia mempunyai kecenderungan seperti ini, sehingga ketika dalam kondisi tertekan, para pemain justru menunjukkan hilangnya semangat dan kontrol atas dirinya. Sering melakukan kesalahan mendasar, kehilangan konsentrasi, tidak tahu apa yang harus dilakukan adalah bukti jika para pemain Indonesia gagal mengelola kecemasannya. Kekalahan pun harus diterima akibat semua itu.

Sekali lagi, Vietnam telah membuktikan bahwa bola itu bundar, bukti bahwa "impossible is nothing!" Semuanya mungkin! Berpikir positif untuk bertindak benar merupakan awal dari sebuah keberhasilan. Para pemain Indonesia, Belajarlah dari para pemain Vietnam. Kemampuan teknik para pemain Vietnam mungkin masih kalah dengan Firman Utina, Ponaryo Astaman atau Budi Sudarsono. Tapi untuk urusan kondisi mental, tidak ada pemain Indonesia yang bisa menandingi para pemain Vietnam.

Ingatlah wahai para pemain sepakbola Indonesia, tidak ada kegembiraan lain dari para penggemar sepakbola kecuali menyaksikan para pemain Tim nasional kesayangan mereka bermain habis-habisan dalam rangka menjunjung nama bangsa dan negara. Maju terus sepakbola Indonesia!

Guntur Utomo

Thursday, November 20, 2008

Timnas Sepakbola; Butuh Tambah Darah!


Menyaksikan pertandingan sepakbola antara Indonesia vs Ulsan Hyundai dalam Turnamen Grand Royal Challenge di Myanmar kemarin, rasanya ada yang hampa. Terutama setelah memasuki babak kedua. Puncaknya, ketika laga harus dilanjutkan dengan perpanjangan waktu 2 x 15 menit setelah pada babak reguler skor masih bertahan 0-0.

Ulsan sebenarnya mempunyai kesempatan untuk unggul karena pada sekitar menit 70 mendapat hadiah tendangan penalti setelah salah satu pemainnya diganjal keras oleh Usep Munandar di area kotak penalti Indonesia. Tapi apa daya, tendangannya melenceng di sebelah kanan gawang yang dijaga oleh Markus Horison.

Setelah insiden penalti tersebut, pertandingan rasanya berjalan sangat lambat. Tidak ada lagi aksi ngotot untuk menjebol gawang lawang. Hanya sesekali para pemain Ulsan melakukan serangan sporadis dengan umpan-umpan diagonal ke kotak penalti Indonesia. Tapi hasilnya tetap nihil! Para pemain Indonesia pun setali tiga uang. Tidak ada aksi yang bisa dibilang membahayakan gawang Ulsan. Bahkan kiper Ulsan seperti menikmati "gaji buta" saking jarangnya memegang bola.

Apa yang Salah dengan Indonesia?
Setelah penalti pemain Ulsan gagal, para pemain Indonesia tampaknya sangat percaya diri untuk memaksakan adu penalti untuk menentukan pemenang pertandingan tersebut. Tidak ada gairah sama sekali untuk membuat sebuah serangan dan mencoba memenangkan pertandingan di waktu normal maupun pada babak perpanjangan waktu. Persoalan motivasi kah?

Tampaknya demikian. Para pemain Indonesia terlihat sangat tidak termotivasi untuk sekedar menyerang pertahanan lawan. Jangankan mencoba mencetak gol, menyerang pun tampak sangat enggan. Tidak ada motivasi untuk menjadi pencetak gol dalam pertandingan tersebut. Persoalan motivasi ini pula yang membuat para pemain Indonesia mencoba menahan bola berlama-lama dan akhirnya memberikan kepada Markus Horison sebelum dia membuang bola ke depan.

Barangkali itu memang strategi yang di buat oleh Charis Yulianto dkk. yakni memaksakan adu penalti. Tapi bukankah itu adalah strategi yang sangat riskan? mengingat adu penalti lebih banyak ditentukan oleh faktor untung-untungan? Tidak ada satupun kiper atau tim di dunia ini yang mengatakan dirinya sangat ahli dalam duel adu penalti. Memang banyak kiper top Eropa mencoba mengantisipasi duel adu penalti ini dengan mempelajari statistik para penendang penalti lawan. Artinya mencermati seberapa sering pemain A menendang ke kanan, atau pemain B menendang ke kiri untuk selanjutnya di gunakan saat adu penalti. Tapi tetap saja, postur tubuh yang "hanya" 190-an cm tidak cukup menutup ruang gawang yang lebarnya lebih 7 meter!

Saya pikir, persoalan motivasi untuk menyelesaikan pertandingan dengan lebih cepat ini yang harus segera dibenahi. Karena motivasi tidak hanya mempengaruhi durasi pertandingan (yang terlihat lebih lama), tapi juga aksi yang ditunjukkan di lapangan. Motivasi akan berpengaruh pada mental cepat puas! Dan ketika perasaan "sudah puas" ini sudah menjalar di pemain, maka akan sangat mungkin mereka meremehkan lawan. Kewaspadaan akan berkurang, kesalahan akan lebih sering terjadi, akhirnya, kekalahan akan menjumpai.

Memang mungkin awalnya sepele, lebih terfokus pada adu penalti. Tapi ingat, adu penalti masih berjarak waktu sangat lama ketika waktu baru menunjukkan menit ke 70 atau 80. Masih ada 20 menit waktu normal dan 30 menit perpanjangan waktu. Itu adalah waktu yang sangat lama untuk sepakbola, karena segala hal masih mungkin terjadi pada sisa waktu. Ingat Inter Milan, Juventus atau Manchester United yang sering mencetak gol ketika pertandingan sudah memasuki menit ke 90! Jika itu terjadi, maka hilanglah impian indah beradu penalti di akhir laga. Para pemain Indonesia tampaknya butuh tambah darah supaya lebih bisa termotivasi.

Memang kalau hanya menyalahkan aspek motivasi tampaknya tidak adil. Para pemain mungkin juga sudah didera kelelahan yang teramat sangat sehingga memilih untuk menahan diri demi menghemat tenaga. Tapi, bukankah mereka adalah pemain profesional, yang dibayar karena keahlian mereka bermain sepakbola? Bukankah mereka seharusnya sudah mempersiapkan mental dan fisik (dan tentu saja teknik) karena itulah yang dihargai dari diri seorang pemain sepakbola?

Ah, entahlah! Semoga saja mereka akan lebih termotivasi untuk menjadi juara pada turnamen ini. Semoga saja mereka belum lupa indahnya kemenangan dan menjadi juara. Semoga juga mereka bisa paham bahwa masyarakat Indonesia saat ini sedang butuh sedikit hiburan di tengah kesulitan hidup yang melanda. Semoga mereka paham bahwa dengan mereka bermain baik, bersemangat, disiplin dan pantang menyerah akan sedikit memberi hiburan kepada masyarakat Indonesia. Menang kalah adalah sebuah kewajaran. Tapi ketika menang dan didahului oleh proses yang menghibur akan jauh membanggakan. Meski kalah, tapi jika pemain menunjukkan semangat yang patriotis, pantang menyerang, dan selalu ingin menang, maka masyarakat juga akan sedikit terhibur. Mereka pun akan keluar dengan kepala tegak!

Masih ingat Piala Kemerdekaan bulan Agustus lalu, kan? Memalukan bukan? Semoga sepakbola Indonesia bisa lebih menghibur!
Guntur Utomo