Friday, February 20, 2009

Penting kah Psikologi Olahraga?


Di Indonesia, memang belum banyak orang yang "peduli" dengan psikologi olahraga. Untuk ilmu psikologinya mungkin sudah lumayan berkembang. Buktinya, perusahaan-perusahaan, sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit sudah mulai mempekerjakan para psikolog. Ini juga satu bukti kalau ilmu psikologi sudah mulai diterima di masyarakat Indonesia. Tapi ketika berbicara tentang psikologi olahraga, apakah psikologi olahraga sudah menjadi kebutuhan?

Beberapa waktu lalu, melalui e-mail saya bertanya kepada Bp Monty Satiadarma. Beliau adalah salah satu psikolog yang concern terhadap olahraga dan psikologi olahraga dan saat ini menjabat ketua Ikatan Psikologi Olahraga, salah satu organisasi di bawah Himpsi (Himpunan Psikologi Indonesia). Beliau mengatakan bahwa memang psikologi olahraga di Indonesia belum semaju cabang ilmu psikologi yang lain. Hal ini karena memang kebutuhan akan ilmu ini belum begitu tampak.

Sebenarnya tidak ada, tapi memang belum tampak. Kalimat ini yang harus di garis bawahi. Pertanyaannya kemudian adalah apakah karena industri olahraga di Indonesia yang belum maju ini mempengaruhi kebutuhan akan ilmu psikologi di ranah olahraga? Ataukah jangan-jangan para pelaku olahraga di Indonesia yang memang belum sadar akan artinya pembangunan olahraga secara utuh sehingga tidak melibatkan ilmu pengetahuan dalam proses meningkatkan kualitas olahraga di Indonesia?

Tentu saja ini adalah pertanyaan-pertanyaan menarik untuk dikaji lebih dalam. Mungkin seandainya ada penelitian yang mengungkapnya akan jauh lebih menarik lagi. Sayang memang pertanyaan-pertanyaan tersebut belum terjawab secara empirik. Semua masih menduga-duga, semua masih bersifat kira-kira. Tapi yang paling jelas adalah memang psikologi olahraga di Indonesia belum banyak berbicara di dalam perilaku olahraga di Indonesia, baik olahraga prestasi maupun olahraga rekreasi.

Baiklah, mari kita cermati pelan-pelan pentingnya psikologi olahraga ini. Sebagai cabang ilmu yang relatif "baru" psikologi olahraga di Indonesia memang belum di kenal luas. Bahkan dalam beberapa kesempatan berbincang dengan beberapa mahasiswa dari Universitas unggulan di Jogja, terkuak bahwa ilmu psikologi olahraga bahkan belum banyak mereka kenal. Ketika ditanya apakah tertarik dengan psikologi olahraga, beberapa menjawab ,"Oh ada toh, psikologi olahraga itu?" atau bahkan, "Apa itu, terus kerjaannya ngapain?" bayangkan, ini adalah komentar-komentar dari para mahasiswa Fakultas Psikologi! Jadi tidak heran kalau orang awam bahkan tidak mengenal sama sekali.

Inilah persoalan yang dihadapi oleh psikologi olahraga di Indonesia. Barangkali kata yang lebih tepat adalah "tantangan" yang dihadapi. Seiring dengan semakin ketatnya persaingan dalam olahraga prestasi di dunia, dibutuhkan proses pembinaan yang komprehensif kepada para atlet. Selama ini para pelaku olahraga Indonesia seolah tertidur karena selama puluhan tahun dininabobokan oleh bakat-bakat alam yang tersebar di penjuru nusantara. Tidak perlu digarap, mereka sudah datang dengan bakat yang sangat luar biasa. Kebetulan juga negara-negara tetangga Indonesia belum begitu maju, selain sumber daya manusia terbatas, mereka juga belum menerapkan program pembinaan yang benar, sehingga Indonesia tampak sangat dominan.

Namun, satu dekade terakhir, situasi berubah. Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam berbenah. Sadar sumber daya manusianya terbatas, mereka mengaplikasikan ilmu pengetahuan dalam membina para atletnya. Hasilnya? Thailand selalu jawara di SEA GAMES, bahkan mereka sudah membidik level ASIA bahkan OLIMPIADE. TIm sepakbola VIetnam mulai menancapkan kukunya di belantara sepakbola Asia Tenggara dengan Juara Piala AFF 2008. Apa yang mereka lakukan? Mereka mendidik para atletnya dengan benar.

Itulah masalah yang dihadapi oleh Indonesia. Para pelaku olahraga Indonesia masih malas untuk melakukan sesuatu. Jangankan menggandeng ilmu pengetahuan, melakukan regenerasi saja masih takut. Atlet-atlet tua juga yang akhirnya masih harus tampil membela Indonesia. Akhirnya, ya bisa dilihat, semua tampak tidak ideal dan "sedikit" memalukan.

Saya pikir, kasus psikologi olahraga juga dirasakan oleh ilmu-ilmu lain dalam konteks olahraga. Tidak adanya kesadaran dari para pembina dan pelaku olahraga membuat situasi menjadi agak rumit. Sebenarnya bukan tidak adanya kesadaran, tapi memang ketidaktahuan yang membuat kondisi ini terjadi.

Seberapa Penting?
Berbekal bakat memang atlet bisa menjadi juara, tapi bisa dipastikan tidak akan maksimal. Tubuh dan mental adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tubuh mempengaruhi mental, begitupun sebaliknya, mental sangat mempengaruhi tubuh. Jika salah satu sakit, lainnya akan ikut sakit. Begitu kira-kira logika sederhana yang bisa dipakai. Jika atlet berlatih dengan sangat keras, modal bakat hebat, tapi tidak dibarengi penguasaan mental yang baik, mungkin dia hanya akan jadi jago kandang.

Apakah Michael Phelps bisa hebat hanya karena bakat? Tentu saja tidak. Tidak ada yang menyangka bocah penderita ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorders) ini mampu memecahkan rekor dunia. Jangankan bertanding, waktu kecil dia diam sejenak saja tidak mampu. Namun, berkat pembinaan yang baik, dia menjelma menjadi Raja Kolam Renang Olimpiade Beijing. Pertanyaan kemudian, apakah Bob Bowman, pelatihnya, hanya bermodal kemampuan teknis untuk melatihnya? Pasti tidak. DIsekelilingnya pastilah orang-orang mumpuni dibidang masing-masing. Pastilah dia dikelilingi oleh ahli nutrisi, ahli medis, ahli ilmu gerak tubuh, dan tentu saja ahli di bidang ilmu psikologi olahraga. Hasilnya, Phelps yang mahakuat di kolam renang!

Dalam kasus lain, apakah seorang Jose Mourinho hanya mengandalkan pengalaman dalam melatih tim yang ditanganinya? Saya yakin tidak! Mourinho bukan mantan pemain top. Dia hanya beberapa tahun menjadi pemain medioker, selanjutnya, dia hanya menjadi penterjemah bagi Louis Van Gaal di Barcelona? Lalu bagaimana dia bisa meracik para pemain sehingga menjelma menjadi tim juara?

Mourinho adalah contoh profesional sejati di bidangnya. Seorang profesional seharusnya menguasai segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia profesinya. Ilmu kepelatihan pasti, ilmu gerak tubuh tentu saja, ilmu nutrisi itu sebuah keharusan dan terpenting, ilmu psikologi hukumnya wajib bagi Mourinho. Terlihat bagaimana dia bisa menaklukkan seorang Adriano yang terkenal sangat tidak disiplin. Ditangannya, Adriano kembali menjadi sumber gol bagi Inter Milan. Tentu saja, ini berkat pendekatan psikis Jose dengan Adriano. Dia tahu betul bagaimana "Menguasai" si bengal Adriano.

Beberapa contoh di atas adalah gambaran betapa sebenarnya psikologi olahraga memegang peranan penting bagi pembangunan olahraga prestasi. Sederhananya, jika mau juara pakailah pendekatan psikologi dalam setiap aspeknya bersama dengan ilmu lainnya. Selama para pelatih hanya mengandalkan pengalaman atau insting saja, niscaya olahraga Indonesia akan berbicara banyak di Pentas Dunia.

Guntur Utomo

Thursday, February 19, 2009

Motivasi Intrinsik, Penting!

Seperti disebutkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, motivasi terdiri dari dua jenis motivasi, yakni motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Pada tulisan ini, akan dibahas lebih jauh mengenai motivasi intrinsik. Secara umum, motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam individu. Artinya, seseorang melakukan tindakan atau perilaku tidak berasal dari motif-motif atau dorongan-dorongan yang berasal dari luar diri.

Belakangan, dunia bulu tangkis Indonesia sedang mengalami gonjang-ganjing lantaran banyak pemain elitnya yang menolak untuk masuk dalam pelatnas Cipayung. Tercatat Markis Kido dan adik-adiknya, serta Vita Marisa menyatakan keluar dari pelatnas menyusul Taufik Hidayat yang menyatakan pertama. Penyebabnya, konon, adalah tidak adanya kecocokan antara PBSI dan para atlet tersebut soal harga kontrak. Kontrak yang ditawarkan kepada para atlet oleh PBSI dirasakan terlalu kecil.

Contoh lain adalah ketidakmauan Kaka untuk pindah dari AC Milan meski ditawari ratusan juta dollar oleh Manchester City. Kaka menolak karena merasa sudah sangat nyaman dengan Milan serta merasa berhutang kepada para Milanisti yang selama ini berdiri di belakangnya. Iming-iming kontrak ratusan juta dollar serta gaji selangit tak menggoyahkan keinginan Kaka untuk berbuat yang terbaik di Milan.

Kedua contoh di atas merupakan bentuk reaksi para atlet terhadap iming-iming uang yang merupakan bentuk motivasi yang berasal dari luar diri. Dalam kasus pertama, di luar motivasi untuk bermain dan berprestasi, ternyata ada batasan tertentu sumber motivasi ekstrinsik tersebut untuk bisa menggugah perilaku seorang atlet. Para pemain bulu tangkis tersebut merasa prestasinya tidak mendapat penghargaan yang setimpal dari PBSI yang, tentu saja, juga diuntungkan dari prestasi para atlet tersebut.

Untuk kasus Kaka, ternyata motivasinya untuk tetap berada di Milan jauh lebih lebih besar dibanding iming-iming uang yang sudah tidak rasional itu. Memang Kaka telah mendapat gaji yang tidak kecil juga di Milan, tapi juga keinginannya untuk mengejar prestasi yang lebih tinggi menahan Kaka untuk tidak menyanggupi tawaran klub dengan dana tak terbatas itu.

Keduanya memberi contoh, kasus bulutangkis, Motivasi Eksternal yang tidak cukup memadai ternyata tidak mampu membuat seseorang berperilaku tertentu. Sedang kasus kedua, motivasi intrinsik yang dimiliki Kaka ternyata lebih besar dibanding dengan sumber motivasi ekstrinsik yang ditawarkan Manchester City.
Tipe Motivasi Intrinsik

Mengapa motivasi intrinsik penting bagi seorang atlet? Tidakkah cukup diberi uang saja agar para atlet mau untuk menunjukkan kehebatannya? Jawabannya mungkin relatif, tapi menilik kasus di atas, uang ternyata bisa penting, tapi bisa juga tidak. Motivasi Intrinsik penting karena setiap individu mempunyai individual differences yang membedakan dengan orang lain. Individual differences ini meliputi kesenangan, tingkat kepuasan, kemampuan penyesuaian diri, tingkat emosi, kerentanan dan sebagainya.

Selain itu, motivasi intrinsik jauh lebih sakti untuk bisa memunculkan sebuah perilaku tertentu. Kesaktiannya lantaran motivasi ini berasal dari dalam diri, sehingga mempunyai kecenderungan yang lebih kuat serta tahan lama. Berbeda dengan motivasi ekstrinsik, ketika sumber motivasi itu sudah hilang atau berkurang nilainya, maka perilaku yang diharapkan tidak akan muncul.

Menurut Vallerand, dkk., secara garis besar, ada 3 tipe motivasi intrinsik.

1. Motivasi Intrinsik untuk Tahu.
Dalam motivasi untuk tahu ini, seseorang melibatkan diri dalam sebuah aktivitas karena kesenangan untuk belajar. Dalam konteks olahraga, motivasi ini penting dalam proses latihan. Para pemain harus mempunyai motivasi intrinsik jenis ini untuk memastikan bahwa mereka selalu terlibat dalam proses latihan dengan baik. Untuk selalu menggugah motivasi ini, para pelatih juga harus selalu kreatif menciptakan metode latihan yang selalu memberi sesuatu yang baru kepada para pemain. Jika pelatih gagal memberi sesuatu yang baru, mungkin motivasi yang sudah dimiliki oleh para pemain akan luntur perlahan-lahan.

2. Motivasi Intrinsik yang berkaitan dengan pencapaian.
Manusia selalu mempunyai naluri untuk mencapai sesuatu. Bahkan secara ekstrem, orang yang sudah kaya raya pun tidak pernah berhenti untuk mengeruk harta. Ini membuktikan bahwa setiap manusia mempunyai keinginan untuk mencapai sesuatu. Dalam konteks olahraga, atlet sebenarnya juga mempunyai hal serupa. Motivasi intrinsik tipe ini seseorang melakukan aktivitas karena terdorong oleh kesenangan mencoba untuk melampaui dirinya sendiri. Artinya ada keinginan untuk lebih dan lebih. Seorang pelatih bisa menciptakan hal ini dengan selalu membawa unsur kompetisi dalam proses latihan. Para pemain juga harus selalu mengikuti kompetisi yang kompetitif dengan jenjang yang selalu meningkat. Selain untuk mengevaluasi kemampuan, tapi juga agar mereka selalu terfasilitasi untuk melewati pencapaian yang sudah pernah diperoleh.

3. Motivasi Intrinsik untuk merasakan stimulasi.
Jenis ini mendorong seseorang untuk terlibat dalam sebuah aktivittas dalam rangka merasakan kenikmatan yang sensasional. Para atlet panjat tebing, pendaki gunung dan sebagainya adalah contoh orang-orang yang selalu ingin merasakan pengalaman yang sensasional ini. Untuk atlet lain, barangkali dengan mendapat pencapaian tertinggi, maka pengalaman sensasional ini akan tercapai. Bayangkan jika seseorang berhasil mendapatkan medali emas olimpiade, pasti luar biasa. Untuk itulah, para atlet harus selalu dirangsang untuk selalu mengeset sasarannya setinggi mungkin.

Guntur Utomo

Wednesday, February 18, 2009

Temukan Sumber Percaya Diri…

Menurut banyak penelitian, rasa percaya diri sangat berpengaruh terhadap penampilan seorang atlet di lapangan. Keunggulan teknik, fisik jadi sia-sia ketika percaya diri tiba-tiba menguap. Berbagai macam sebab dianggap sebagai biang keladi hilangnya kepercayaan diri. Bisa jadi karena menganggap lawan yang lebih hebat, menganggap pertandingan yang terlalu besar, beban yang dipikul terlalu berat dan sebagainya.

Namun, ada satu hal yang penting untuk tetap ditekankan kepada para atlet maupun para pelatih, bahwa kepercayaan diri menjadi wilayah persepsi yang bersifat sangat personal. Artinya, beban pertandingan, kualitas lawan, kesiapan fisik, maupun teknik merupakan bagian dari kemampuan seorang individu untuk berdamai dengannya. Bagi atlet A barangkali situasi yang sama persis tidak berarti apa-apa, tapi beda dengan atlet B. Atlet B bisa sangat frustasi dengan situasi pertandingan yang sama. Itulah mengapa Self Confidence merupakan wilayah pribadi yang harus ditangani oleh individu sendiri, tentu saja, dengan bantuan lingkungan sekitarnya.

Hal lain yang penting adalah, rasa percaya diri bukan merupakan bawaan lahir. Ada pelatih yang menganggap bahwa ada satu pemain yang terlahir dengan rasa percaya diri tinggi, sedang pemain lain tidak memilikinya. Mungkin benar bahwa ada anak yang lebih percaya diri dibandingkan yang lain, tapi itu semua merupakan hasil dari pendidikan dan lingkungan sejak kecil. Gampangnya, jika dari kecil seorang anak di ajak untuk percaya diri, maka dia akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang besar. Demikian juga dengan proses mencipta atlet dengan rasa percaya diri tinggi. Sekali lagi, itu bukan bawaan lahir, tapi merupakan hasil latihan..

Sembilan Sumber
Menurut Weinberg dan Gould yang dikutip oleh Zauderer dalam PezCyclingNews.com ( Mei 2008 ) ada 9 sumber percaya diri dalam situasi spesifik olahraga. Sumber-sumber tersebut adalah:

1. Mastery: Developing and improving skills in training and competition. Penguasaan kemampuan teknik dan fisik merupakan salah satu bentuk sumber rasa percaya diri yang dominan. Atlet seringkali kehilangan rasa percaya diri karena merasa tidak cukup mampu untuk memenangkan pertandingan lantaran merasa tidak punya cukup teknik untuk mengalahkan lawan. Untuk itulah, para pelatih harus memperhatikan hal ini dengan baik. Keterampilan dan skill hanya bisa ditingkatkan melalui proses latihan dan kompetisi yang sehat.

2. Demonstrating ability: Having success in competition. Yang kedua adalah menunjukkan kemampuan dalam rangka memenangkan sesuatu di dalam kompetisi. Adalah sesuatu yang instingtif ketika seorang manusia mempunyai keinginan untuk “pamer”. Dalam konteks percaya diri, pamer ini bisa menjadi sumber rasa percaya diri yang baik untuk para atlet. Ketika pamer dan mendapat apresiasi dari orang lain, maka kemungkinan besar dia akan mendapatkan rasa yakin terhadap apa yang dia lakukan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa seorang pelatih tidak bisa selalu menyalahkan dan memarahi atletnya, karena itu akan menjungkalkan rasa percaya dirinya. Hati-hatilah memilih ucapan. Memang tidak harus selalu dipuji, tapi sampaikan kritikan dengan cara yang sesuai.

3. Getting the breaks: Seeing things going your way. Keberhasilan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya rasa percaya diri seorang atlet. Orang tentu senang menyaksikan dirinya mendapatkan sesuatu dan melihat banyak hal berjalan sesuai dengan keinginan. Itulah yang mendasari munculnya Confidence. Keberhasilan tentu saja tidak hanya saat sedang berkompetisi, pelatih bisa menciptakan situasi tantangan yang harus dipecahkan oleh para pemainnya saat latihan. Semakin sering seorang atlet mendapat keberhasilan, maka rasa percaya dirinya akan meningkat. Tapi tentu saja harus dalam kontrol untuk menghindari over confidence.

4. Seeing others perform successfully. Menyaksikan orang lain mendapat keberhasilan seringkali memacu motivasi seseorang untuk melakukan hal yang sama. Ketika seorang atlet merasa termotivasi, maka bisa dikatakan bahwa sebenarnya dia sedang dalam rasa percaya diri yang tinggi. Contoh kasus adalah bersinarnya David Beckham di AC Milan. Tiba-tiba para pemain lain merasa sangat bersemangat untuk mencapai scudetto. Ucapan-ucapan yang sangat percaya diri muncul dari para pemain lain.

5. Physical and mental preparation. Persiapan fisik dan mental adalah syarat mutlak bagi seorang atlet disamping persiapan teknik. Persiapan fisik meliputi kesehatan, ketangguhan, kecepatan, poser dan sebagainya. Jika seorang atlet berada dalam kondisi fisik prima, maka dia akan merasa mampu menjalani pertandingan se ketat apapun. Sedangkan persiapan mental diantaranya meliputi motivasi, menghilangkan rasa takut atau kuatir, berpikir positif, dan konsentrasi. JIka persiapan mental dan fisik dijalani dengan benar, tidak mustahil si atlet akan menjadi orang yang sangat percaya diri mengandaskan lawan di lapangan.

6. Social support: Encouragement from family and friends. Jangan lupakan dukungan sosial untuk mendapatkan rasa percaya diri. Orang tua, keluarga, suami atau istri juga teman-teman memberi arti khusus bagi seseorang. Jika semua itu mendukung dengan jujur, maka tidak mustahil dia akan tampil kesetanan.

7. Belief/trust in your coach(es). Yakinlah pada pelatihmu! pelatih adalah orang yang paling tahu kondisi si atlet. Pelatihlah yang bertanggung jawab terhadap segala kondisi yang menyangkut atlet dalam rangka memenangkan sesuatu. Konsekuensi untuk para pelatih adalah mereka harus memberikan sesuatu yang sistematis dan memang benar-benar logis untuk mencapai sebuah tujuan yang diinginkan bersama.

8. Body image: Feelings about body, strength, appearance, weight. Persepsi akan diri sendiri lah yang menyebabkan rasa percaya diri itu muncul atau bahkan hilang. Jika seorang atlet terlanjut mempunyai persepsi yang tidak baik terhadap dirinya, maka rasa percaya diri juga akan berangsur-angsur menghilang. Oleh karena itu, penting bagi seorang atlet untuk mempunyai persepsi yang positif terhadap dirinya.

9. Environmental comfort: Feeling comfortable where you’re performing. Situasi dan lingkungan pertandingan yang nyaman juga menjadi sumber rasa percaya diri yang cukup dominan. Bayangkan ketika seorang pemain bulu tangkis harus bermain dalam suhu ruang yang panas atau ruangan yang berangin, apalagi jika melawan pemain tuan rumah yang dianggap sudah mengetahui situasi itu dengan baik. Lingkungan lain yang seringkali berpengaruh adalah kondisi suporter. Jika bermain dalam tekanan suporter yang tak terkendali, maka siapapun akan gentar, karena bukan lagi kualitas teknik yang dipertaruhkan. Oleh karena itu, tidak sembarang kompetisi bisa diikuti. Para pemain sepakbola Indonesia sering bermain dalam pertandingan tarkam yang kondisi lapangan, penonton dan segala perangkat pertandingannya tidak memadai. Bukan tidak mungkin, inilah yang menyebabkan para pemain itu gentar ketika bertemu dengan lawan dari luar negeri.

Guntur Utomo