Tuesday, November 4, 2008

Menangnya Sebuah Ketangguhan Mental


Akhirnya Formula 1 mempunyai juara baru. Banyak memang yang sudah menduga kalau Lewis Hamilton akan menjadi jawara dalam balapan jet darat ini. Setelah tahun lalu gagal dalam seri terakhir, kini Hamilton membuktikan bahwa dia pantas menduduki predikat Juara.

Secara teknis memang tidak ada yang meragukan kemampuan Hamilton dalam membalap. Juara 5 seri adalah bukti nyata bahwa dia adalah salah satu calon penguasa F1. Didukung oleh mesin yang tangguh dan tim yang solid, Hamilton berhasil mencatatkan dirinya sebagai pembalap termuda F1.

Tapi patut dicermati persaingan mental yang terjadi dalam balapan mobil paling mewah sejagad ini. Bahkan sampai tikungan terakhir, gelar juara dunia belum juga bisa dipastikan. Lewat balapan yang dramatis, akhirnya Felipe Massa harus gigit jari dan gelar juara pun jatuh pada pembalap berusia 23 tahun asal tanah Inggris.

Yang patut diperhatikan juga adalah bagaimana Hamilton mengontrol emosinya. Setelah tahun lalu gagal total karena emosional yang menyebabkan dia salah memencet salah satu tombol di mobilnya, Hamilton telah belajar banyak. Pada seri terakhir di Brasil, tampak bahwa Hamilton jauh lebih hati-hati. Sangat jelas bahwa pengalaman buruk tahun lalu tidak ingin dia ulangi. Sejak start, Hamilton tampak sangat berhati-hati dalam mengendarai mobilnya. Tidak tampak sama sekali agresivitas yang sering dia tampilkan dalam beberapa seri sebelumnya. Ternyata hasilnya jitu, gelar juara berhasil dia bawa pulang ke tanah Britania.

Coping adalah reaksi yang diambil untuk mengurangi tekanan atau stress yang dirasakan seseorang. Dengan balapan yang sedemikian ketat, memang sangat wajar seorang pembalap selalu berada dalam tekanan. Tekanan yang dirasakan oleh Hamilton jelas berlipat ganda lantaran gelar juara sudah di depan mata. Ditambah dengan kegagalan tahun kemarin, Hamilton pasti merasakan beban yang teramat besar. Belum lagi dengan ancaman kerusakan mesin dan cuaca yang tidak menentu yang sangat mungkin menggagalkan ambisinya menjadi juara dunia termuda.

Berbagai macam tekanan tersebut tentu saja sangat mempengaruhi kondisi emosi Hamilton menjelang balapan terakhir di Sao Paolo hari Minggu silam. Trauma ditambah dengan tekanan dan ketakutan-ketakutan yang ada di depan mata tentu saja bukan barang mudah untuk di hadapi. Apalagi untuk seorang pemuda seusia Hamilton yang baru saja meninggalkan masa remajanya. Tekanan tersebut pastilah memunculkan kecemasan yang luar biasa.

Tahun lalu, dengan kondisi yang hampir serupa, Hamilton mencoba mengelola tekanan-tekanan dalam dirinya dengan perilaku yang agresif. Barangkali dalam diri Hamilton waktu itu tidak ada kata lain kecuali menjadi juara dalam seri tersebut. Padahal kenyataannya, dia hanya butuh finish diurutan 6 untuk menjadi juara dunia tahun lalu. Emosi yang meledak-ledak, tidak mau kalah dan kurang perhitungan adalah ciri yang sangat khas bagi remaja seusianya. Dan akhirnya, cara dia menghadapi tekanan ternyata membawa bencana. Hamilton gagal menjadi juara setelah kalah 1 poin dari Kimi Raikonnen.

Tahun ini, Hamilton sudah tampak berbeda. Memang masih tampak perilaku yang seperti tahun lalu, yakni pada saat Seri Jepang. Tapi ternyata semua itu tidak terjadi pada seri terakhir di Brasil. Hamilton telah berhasil menunjukkan perilaku yang lebih tepat dalam bereaksi terhadap tekanan. Dia menjadi lebih hati-hati dan tidak mudah terpancing amarahnya.

Saya rasa, peran tim sangat besar dalam perubahan sikap Hamilton dalam seri terakhir tersebut. Menurut berita di media massa, Tim Mc Claren berulangkali menginstruksikan Hamilton untuk hanya memikirkan lomba dan tidak sekali-kali memikirkan gelar juara dunia. Perintah ini adalah sebuah bentuk pengalihan tekanan. Dengan memikirkan lomba, tekanan yang dihadapi tentu saja jauh lebih kecil dibanding jika pikiran dia dipenuhi dengan gelar juara.

Dengan mengalihkan perhatian ini, seri Brasil tampak menjadi sebuah balapan rutin seperti halnya balapan-balapan lain yang diikutinya tanpa harus terbebani gelar juara. Konsep pengalihan perhatian ini juga memberi ruang bagi Hamilton untuk memilih perilaku yang lebih sesuai, yakni berhati-hati. Ternyata memang semua berjalan dengan lancar. Memang sedikit ada insiden ketika Sebastian Vettel berhasil menyusulnya, tapi scenario dan ketangguhan mental Hamilton di seri terakhir ternyata telah mengantarkannya menjadi Juara Dunia F1 termuda sepanjang sejarah.

Guntur Utomo

No comments: