Monday, August 10, 2009

Menguji Efektivitas Self Talk


Review atas artikel:
Belief in Self Talk adn Dynamic Balance Performance
Kaori Araki, dkk.

Dalam banyak literatur, hubungan antara self talk dan penampilan sudah banyak dibahas. Hasilnya, Self talk memang membantu para atlet untuk tampil maksimal seiring dengan kemampuan atletis mereka. Penelitian-penelitian itu antara lain menemukan bahwa atlet-atlet olimpiade serta para pemain tim nasional menggunakan self talk sebagai strategi pembangun motivasi (Hardy, Gammage, & Hall, 2005), self talk untuk mempercepat penguasaan keterampilan (Landin & Hebert, 1999), untuk mengontrol fokus perhatian (Gould, Eklund, & Jakcson, 1992), dan untuk meningkatkan rasa percaya diri (Landin & Hebert, 1983).

Definisi self talk sendiri adalah sebuah fenomena multidimensi yang berkaitan dengan verbalisasi yang dilakukan oleh atlet yang ditujukan pada diri mereka sendiri (Hardy, hall, & Hardy, 2005). Secara sederhana self talk adalah berbicara pada dirinya sendiri. Hampir setiap saat seseorang melakukan apa yang disebut dengan self talk ini, baik dalam bentuk yang posisif maupun negatif. Self talk yang positif adalah ucapan-ucapan yang positif kepada diri sendiri sepert "kamu mampu mengatasi lawan", "pecahkan rekormu sendiri", dan sebagainya. Sedang self talk negatif adalah ucapan-ucapan yang mengandung unsur ketidakpercayaan diri seperti, "Duh, kok lawan tampil hebat ya?", "Aku pasti kalah", dan sebagainya.

Penelitian yang dilakukan oleh Araki, dkk., ini mencoba mencari tahu seberapa efektif self talk terhadap penampilan seorang atlet. Penelitan eksperimental ini dilakukan kepada 125 pelajar. Mereka harus mengisi dua buah questionnaire, yakni Belief in Self-Talk Questionnaire serta Type of Self-Talk Questionnaire. Kuesiner pertama bertujuan melihat seberapa besar keyakinan subjek terhadap teknik Self-Talk, sedang kuesioner kedua bertujuan untuk melihat jenis-jenis Self-Talk yang digunakan dan diberikan sebelum dan sesudah subjek melakukan aktivitas keseimbangan dalam alat yang bernama Stabilometer.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek yang mempunyai skor tinggi dalam Belief of Self Talk Questionnaire mampu menjaga keseimbangan dalam waktu yang lebih lama dibandingkan subjek yang tidak begitu tinggi dalam mengisi kuesioner serupa. Temuan lain adalah tipe-tipe self talk yang paling sering dipakai adalah kategori Fokus (85 %), kemudian Instruksional (65%), Motivasional (50%), menenangkan (49%), performance worry (26%), keraguan pada diri(15%), dan frustrasi (14%).

Dari penelitian tersebut bisa dilihat bahwa Self-Talk masih efektif untuk meningkatkan kualitas penampilan. Hal ini menguatkan bahwa Self-Talk menjadi salah satu metode yang harus dilatihkan kepada para atlet dalam mencapai prestasi yang tertinggi. Alasan dasarnya adalah Self-Talk mengajari seseorang untuk selalu waspada dan berpikiran positif terhadap diri sendiri. Ketika seorang atlet sudah mulai ragu dengan penampilannya, dan mulai mengatakan hal-hal yang negatif berkaitan dengan diri dan kemampuan dirinya, maka kemampuan potensial atlet tersebut dengan sendirinya akan berkurang. Efeknya, kepercayaan diri, motivasi akan menurun dan keraguan serta kecemasan akan meningkat.

Pemilihan tipe-tipe self talk juga sangat mempengaruhi penampilan. Untuk itulah, proses pengajaran self talk harus benar-benar terfokus sehingga bisa menambal kekurangan seorang atlet dalam hal kualitas mental. Seorang atlet yang mempunyai kecenderungan lemah dalam hal motivasi, maka dia harus diajarkan untuk melakukan self talk yang bersifat motivasional, begitu juga dengan atlet yang kurang dalam mengatasi kecemasan atau rasa kuatir, maka atlet tersebut harus banyak diajak untuk melatih self talk calming (menenangkan).

Guntur Utomo

Thursday, August 6, 2009

Berkompetisilah dengan Sehat!


Miris, membaca berita di suratkabar perihal ditemukannya fakta bahwa ada 33 atlet yang bertanding dalam Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Daerah Istimewa Yogyakarta berasal dari luar daerah. Betapa tidak, ajang kompetisi yang seharusnya menjadi arena untuk mencari bibit dan mematangkan potensi lokal, malah menjadi ajang gengsi kelas teri para birokrat olahraga di daerah. Lalu, kapan bibit-bibit unggul daerah bisa tersemai?

Kompetisi terbukti membawa dampak yang positif terhadap perkembangan kualitas seorang atlet. Hal ini disebabkan karena sebuah kompetisi menuntut semua penggunaan semua kecakapan berolahraga dari seorang atlet. Kecakapan teknis dan fisik jelas utama karena dengan berkompetisi, para atlet bertemu dengan lawan dan atmosfer yang harus dikalahkan. Semua keterampilan dan kecakapan yang dilatihkan akan bisa terlihat secara objektif ketika mereka berada dalam situasi yang kompetitif. Dalam proses latihan, seringkali kualitas para atlet tampak menonjol, tapi begitu bertemu dengan lawan sesungguhnya, semua keterampilan yang ada menjadi hilang begitu saja.

Ajang kompetisi lokal sejenis Porprov atau kejurnas seharusnya menjadi sebuah batu loncatan menuju prestasi yang lebih membanggakan ditingkat regional atau bahkan di tingkat internasional. Ajang kompetisi lokal harus memberikan masukan tidak hanya kepada para atlet untuk mengukur kemampuan dirinya, tapi juga kepada para pelatih tentang sejauh mana metode kepelatihannya efektif. Informasi-informasi tersebut akan sangat berharga untuk peningkatan kualitas atlet di kemudian hari.

Selain aspek teknis dan fisik, kompetisi juga mampu meningkatkan kualitas mental bertanding para atlet. Dengan adanya lawan, para atlet harus mampu menguasai diri agar tidak grogi, cemas atau takut. Ketakutan, kecemasan dan perasaan khawatir akan membuat semua kecakapan yang dimiliki sirna seketika. Dengan kompetisi yang rutin, para pemain akan mampu mengukur sejauh mana tingkat kecemasan yang mereka miliki serta mampu menemukan cara serta metode untuk mengatasinya.

Suporter, baik yang mendukung dirinya maupun lawan, juga menghadirkan atmosfer yang menekan bagi para atlet. Dengan tekanan-tekanan tersebut, atlet diajarkan untuk bisa tenang dan tetap fokus menghadapi tantangan yang di depannya. Sekali fokus hilang, maka musuh akan dengan mudah mengalahkan. Belajar untuk fokus tidak bisa dilakukan hanya dengan kondisi yang tenang, tapi fokus harus diajarkan ketika para atlet sedang berada dalam tekanan yang berat, karena memang itulah hakikat pertandingan sesungguhnya.

Level motivasi akan terjaga ketika seorang atlet tahu bahwa ada harapan yang bisa mereka raih. Dengan kompetisi, atlet akan diiming-imingi sesuatu yang menantang, yang terutama adalah sebuah kemenangan. Dengan iming-iming seperti ini, atlet akan belajar untuk memacu dirinya agar menjadi yang terbaik. Dengan motivasi untuk menjadi yang lebih baik atau yang terbaik, maka atlet akan mampu mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Berbeda dengan iming-iming yang berbentuk materi, ketika seorang atlet sudah merasa cukup dengan materi yang dia miliki, maka bukan tidak mungkin, atlet tersebut akan berhenti dan itu artinya tidak ada lagi prestasi yang berhasil dia raih. Ironisnya, inilah yang banyak terjadi di dunia olahraga Indonesia.

Media Evaluasi
Seperti disinggung di atas, kompetisi (khususnya tingkat nasional atau regional) seharusnya menjadi ajang untuk berevaluasi. Ini terutama bagi para pelatih, pembina dan tentu saja para atlet. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh dalam setiap aspek. Aspek teknis, pelatih harus mampu memotret dan mencatat setiap kelemahan dan kekurangmatangan para atlet ketika bertanding. Selanjutnya, kekurangan-kekurangan tersebut harus segera dicari solusinya dalam proses latihan. Harapannya, pada saat menjalani kompetisi di level yang lebih tinggi, kekurangan-kekurangan tersebut bisa dihilangkan.

Aspek fisik juga tidak kalah pentingnya. Untuk sebagian besar cabang olahraga, fisik merupakan elemen yang sangat menentukan. Meskipun unggul penguasaan teknik, tapi ketika fisik tidak menunjang untuk menjalani pertandingan, maka hasilnya pun akan bisa diprediksi. Latihan fisik harus benar-benar mampu memberikan landasan bagi munculnya kualitas teknik yang prima. Dewasa ini sudah banyak literatur dalam hal latihan fisik. Pelatih Indonesia harusnya mulai melirik penggunaan literatur dan penelitian-penelitian dalam bidang olahraga agar fisik pemain betul-betul siap. Kenyataannya, para pelatih fisik masih banyak yang menggunakan cara-cara lama dalam menggenjot fisik pemain. Tidak jarang latihan-latihan pola lama ini justru tidak efektif.

Dalam segi mental, kompetisi yang baik akan mampu mendongkrak kualitas mental atlet. Pelatih dan pembina harus benar-benar waspada agar mental atlet tidak hancur setelah berkompetisi di daerah. Dengan beban yang terlalu tinggi, tidak jarang para pemain akan mengalami burn out yang akhirnya menurunkan semangat, motivasi, serta daya juang atlet selanjutnya. Penyusunan sasaran dan tujuan yang benar diselingi dengan pemotivasian atlet akan mendorong mereka ke level yang lebih tinggi. Pelatih harus mengevaluasi aspek mental ini juga. Evaluasi yang tepat akan menghasilkan penanganan yang tepat. Para pelatih Indonesia harus mulai membuka diri untuk bekerjasama dengan para profesional di bidang ilmu psikologi olahraga untuk mendapatkan masukan yang tepat mengatasi kekurangan para atlet di dalam aspek mental ini.

Efek langsung dari penanganan mental yang tepat akan membuat suasana latihan menjadi lebih menyenangkan. Motivasi atlet tidak hanya diarahkan kepada kompetisi, tapi juga harus diberikan pada proses latihan. Proses latihan yang sehat adalah ketika para pemain mampu menikmati proses latihan tersebut, datang dengan semangat dan pulang dengan rasa penasaran. Itu akan menumbuhkan keinginan yang terus menerus dalam diri atlet untuk selalu datang pada setiap sesi latihan.

Kembali ke kasus penggunaan atlet "ilegal" a la Porprov DIY, sungguh semua elemen yang dibutuhkan bagi atlet untuk berkembang menjadi hilang. Ketika atlet daerah tahu bahwa lawannya adalah atlet-atlet luar daerah (biasanya atlet yang sudah jadi), maka bukan tidak mungkin para atlet daerah tersebut akan merasa rendah diri dan tidak bersemangat ketika bertanding karena tahu bahwa dirinya sudah pasti kalah. Selain itu, para pelatih pun tidak akan mempunyai ukuran yang jelas untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Selain kehilangan motivasi jangka pendek, atlet juga akan merasa tidak ada lagi harapan bagi mereka untuk berkembang lebih jauh. Jelas ini merugikan karena pengaruhnya akan berimbas pada proses latihan.

Lalu, kapan olahraga Indonesia bisa menjadi alat untuk meraih kembali kejayaan bangsa jika atlet-atlet potensial harus layu sebelum mereka bisa berkembang? Sungguh ironis, di tengah keterpurukan bangsa ini akibat berulangkali di"kerjai" para teroris, masih saja para birokrat olahraga Indonesia berpikir kampungan. Saya pikir, mereka adalah orang-orang yang jauh lebih keji dibandingkan para teroris karena mereka merusak bangsanya sendiri dengan cara yang sangat sistematis...Sayang memang...

Guntur Utomo