Thursday, November 20, 2008

Timnas Sepakbola; Butuh Tambah Darah!


Menyaksikan pertandingan sepakbola antara Indonesia vs Ulsan Hyundai dalam Turnamen Grand Royal Challenge di Myanmar kemarin, rasanya ada yang hampa. Terutama setelah memasuki babak kedua. Puncaknya, ketika laga harus dilanjutkan dengan perpanjangan waktu 2 x 15 menit setelah pada babak reguler skor masih bertahan 0-0.

Ulsan sebenarnya mempunyai kesempatan untuk unggul karena pada sekitar menit 70 mendapat hadiah tendangan penalti setelah salah satu pemainnya diganjal keras oleh Usep Munandar di area kotak penalti Indonesia. Tapi apa daya, tendangannya melenceng di sebelah kanan gawang yang dijaga oleh Markus Horison.

Setelah insiden penalti tersebut, pertandingan rasanya berjalan sangat lambat. Tidak ada lagi aksi ngotot untuk menjebol gawang lawang. Hanya sesekali para pemain Ulsan melakukan serangan sporadis dengan umpan-umpan diagonal ke kotak penalti Indonesia. Tapi hasilnya tetap nihil! Para pemain Indonesia pun setali tiga uang. Tidak ada aksi yang bisa dibilang membahayakan gawang Ulsan. Bahkan kiper Ulsan seperti menikmati "gaji buta" saking jarangnya memegang bola.

Apa yang Salah dengan Indonesia?
Setelah penalti pemain Ulsan gagal, para pemain Indonesia tampaknya sangat percaya diri untuk memaksakan adu penalti untuk menentukan pemenang pertandingan tersebut. Tidak ada gairah sama sekali untuk membuat sebuah serangan dan mencoba memenangkan pertandingan di waktu normal maupun pada babak perpanjangan waktu. Persoalan motivasi kah?

Tampaknya demikian. Para pemain Indonesia terlihat sangat tidak termotivasi untuk sekedar menyerang pertahanan lawan. Jangankan mencoba mencetak gol, menyerang pun tampak sangat enggan. Tidak ada motivasi untuk menjadi pencetak gol dalam pertandingan tersebut. Persoalan motivasi ini pula yang membuat para pemain Indonesia mencoba menahan bola berlama-lama dan akhirnya memberikan kepada Markus Horison sebelum dia membuang bola ke depan.

Barangkali itu memang strategi yang di buat oleh Charis Yulianto dkk. yakni memaksakan adu penalti. Tapi bukankah itu adalah strategi yang sangat riskan? mengingat adu penalti lebih banyak ditentukan oleh faktor untung-untungan? Tidak ada satupun kiper atau tim di dunia ini yang mengatakan dirinya sangat ahli dalam duel adu penalti. Memang banyak kiper top Eropa mencoba mengantisipasi duel adu penalti ini dengan mempelajari statistik para penendang penalti lawan. Artinya mencermati seberapa sering pemain A menendang ke kanan, atau pemain B menendang ke kiri untuk selanjutnya di gunakan saat adu penalti. Tapi tetap saja, postur tubuh yang "hanya" 190-an cm tidak cukup menutup ruang gawang yang lebarnya lebih 7 meter!

Saya pikir, persoalan motivasi untuk menyelesaikan pertandingan dengan lebih cepat ini yang harus segera dibenahi. Karena motivasi tidak hanya mempengaruhi durasi pertandingan (yang terlihat lebih lama), tapi juga aksi yang ditunjukkan di lapangan. Motivasi akan berpengaruh pada mental cepat puas! Dan ketika perasaan "sudah puas" ini sudah menjalar di pemain, maka akan sangat mungkin mereka meremehkan lawan. Kewaspadaan akan berkurang, kesalahan akan lebih sering terjadi, akhirnya, kekalahan akan menjumpai.

Memang mungkin awalnya sepele, lebih terfokus pada adu penalti. Tapi ingat, adu penalti masih berjarak waktu sangat lama ketika waktu baru menunjukkan menit ke 70 atau 80. Masih ada 20 menit waktu normal dan 30 menit perpanjangan waktu. Itu adalah waktu yang sangat lama untuk sepakbola, karena segala hal masih mungkin terjadi pada sisa waktu. Ingat Inter Milan, Juventus atau Manchester United yang sering mencetak gol ketika pertandingan sudah memasuki menit ke 90! Jika itu terjadi, maka hilanglah impian indah beradu penalti di akhir laga. Para pemain Indonesia tampaknya butuh tambah darah supaya lebih bisa termotivasi.

Memang kalau hanya menyalahkan aspek motivasi tampaknya tidak adil. Para pemain mungkin juga sudah didera kelelahan yang teramat sangat sehingga memilih untuk menahan diri demi menghemat tenaga. Tapi, bukankah mereka adalah pemain profesional, yang dibayar karena keahlian mereka bermain sepakbola? Bukankah mereka seharusnya sudah mempersiapkan mental dan fisik (dan tentu saja teknik) karena itulah yang dihargai dari diri seorang pemain sepakbola?

Ah, entahlah! Semoga saja mereka akan lebih termotivasi untuk menjadi juara pada turnamen ini. Semoga saja mereka belum lupa indahnya kemenangan dan menjadi juara. Semoga juga mereka bisa paham bahwa masyarakat Indonesia saat ini sedang butuh sedikit hiburan di tengah kesulitan hidup yang melanda. Semoga mereka paham bahwa dengan mereka bermain baik, bersemangat, disiplin dan pantang menyerah akan sedikit memberi hiburan kepada masyarakat Indonesia. Menang kalah adalah sebuah kewajaran. Tapi ketika menang dan didahului oleh proses yang menghibur akan jauh membanggakan. Meski kalah, tapi jika pemain menunjukkan semangat yang patriotis, pantang menyerang, dan selalu ingin menang, maka masyarakat juga akan sedikit terhibur. Mereka pun akan keluar dengan kepala tegak!

Masih ingat Piala Kemerdekaan bulan Agustus lalu, kan? Memalukan bukan? Semoga sepakbola Indonesia bisa lebih menghibur!
Guntur Utomo

Tuesday, November 4, 2008

Menangnya Sebuah Ketangguhan Mental


Akhirnya Formula 1 mempunyai juara baru. Banyak memang yang sudah menduga kalau Lewis Hamilton akan menjadi jawara dalam balapan jet darat ini. Setelah tahun lalu gagal dalam seri terakhir, kini Hamilton membuktikan bahwa dia pantas menduduki predikat Juara.

Secara teknis memang tidak ada yang meragukan kemampuan Hamilton dalam membalap. Juara 5 seri adalah bukti nyata bahwa dia adalah salah satu calon penguasa F1. Didukung oleh mesin yang tangguh dan tim yang solid, Hamilton berhasil mencatatkan dirinya sebagai pembalap termuda F1.

Tapi patut dicermati persaingan mental yang terjadi dalam balapan mobil paling mewah sejagad ini. Bahkan sampai tikungan terakhir, gelar juara dunia belum juga bisa dipastikan. Lewat balapan yang dramatis, akhirnya Felipe Massa harus gigit jari dan gelar juara pun jatuh pada pembalap berusia 23 tahun asal tanah Inggris.

Yang patut diperhatikan juga adalah bagaimana Hamilton mengontrol emosinya. Setelah tahun lalu gagal total karena emosional yang menyebabkan dia salah memencet salah satu tombol di mobilnya, Hamilton telah belajar banyak. Pada seri terakhir di Brasil, tampak bahwa Hamilton jauh lebih hati-hati. Sangat jelas bahwa pengalaman buruk tahun lalu tidak ingin dia ulangi. Sejak start, Hamilton tampak sangat berhati-hati dalam mengendarai mobilnya. Tidak tampak sama sekali agresivitas yang sering dia tampilkan dalam beberapa seri sebelumnya. Ternyata hasilnya jitu, gelar juara berhasil dia bawa pulang ke tanah Britania.

Coping adalah reaksi yang diambil untuk mengurangi tekanan atau stress yang dirasakan seseorang. Dengan balapan yang sedemikian ketat, memang sangat wajar seorang pembalap selalu berada dalam tekanan. Tekanan yang dirasakan oleh Hamilton jelas berlipat ganda lantaran gelar juara sudah di depan mata. Ditambah dengan kegagalan tahun kemarin, Hamilton pasti merasakan beban yang teramat besar. Belum lagi dengan ancaman kerusakan mesin dan cuaca yang tidak menentu yang sangat mungkin menggagalkan ambisinya menjadi juara dunia termuda.

Berbagai macam tekanan tersebut tentu saja sangat mempengaruhi kondisi emosi Hamilton menjelang balapan terakhir di Sao Paolo hari Minggu silam. Trauma ditambah dengan tekanan dan ketakutan-ketakutan yang ada di depan mata tentu saja bukan barang mudah untuk di hadapi. Apalagi untuk seorang pemuda seusia Hamilton yang baru saja meninggalkan masa remajanya. Tekanan tersebut pastilah memunculkan kecemasan yang luar biasa.

Tahun lalu, dengan kondisi yang hampir serupa, Hamilton mencoba mengelola tekanan-tekanan dalam dirinya dengan perilaku yang agresif. Barangkali dalam diri Hamilton waktu itu tidak ada kata lain kecuali menjadi juara dalam seri tersebut. Padahal kenyataannya, dia hanya butuh finish diurutan 6 untuk menjadi juara dunia tahun lalu. Emosi yang meledak-ledak, tidak mau kalah dan kurang perhitungan adalah ciri yang sangat khas bagi remaja seusianya. Dan akhirnya, cara dia menghadapi tekanan ternyata membawa bencana. Hamilton gagal menjadi juara setelah kalah 1 poin dari Kimi Raikonnen.

Tahun ini, Hamilton sudah tampak berbeda. Memang masih tampak perilaku yang seperti tahun lalu, yakni pada saat Seri Jepang. Tapi ternyata semua itu tidak terjadi pada seri terakhir di Brasil. Hamilton telah berhasil menunjukkan perilaku yang lebih tepat dalam bereaksi terhadap tekanan. Dia menjadi lebih hati-hati dan tidak mudah terpancing amarahnya.

Saya rasa, peran tim sangat besar dalam perubahan sikap Hamilton dalam seri terakhir tersebut. Menurut berita di media massa, Tim Mc Claren berulangkali menginstruksikan Hamilton untuk hanya memikirkan lomba dan tidak sekali-kali memikirkan gelar juara dunia. Perintah ini adalah sebuah bentuk pengalihan tekanan. Dengan memikirkan lomba, tekanan yang dihadapi tentu saja jauh lebih kecil dibanding jika pikiran dia dipenuhi dengan gelar juara.

Dengan mengalihkan perhatian ini, seri Brasil tampak menjadi sebuah balapan rutin seperti halnya balapan-balapan lain yang diikutinya tanpa harus terbebani gelar juara. Konsep pengalihan perhatian ini juga memberi ruang bagi Hamilton untuk memilih perilaku yang lebih sesuai, yakni berhati-hati. Ternyata memang semua berjalan dengan lancar. Memang sedikit ada insiden ketika Sebastian Vettel berhasil menyusulnya, tapi scenario dan ketangguhan mental Hamilton di seri terakhir ternyata telah mengantarkannya menjadi Juara Dunia F1 termuda sepanjang sejarah.

Guntur Utomo